Harry Potter

Jumat, 24 Mei 2013

Bab 3 The Dursleys Departing KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY

Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan 
terdengar suara teriakan, “Hei! Boy!” 
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu 
siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun 
melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah 
melihat mata Dumbledore. Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat 
Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti 
sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke dalam ransel yang penuh 
dengan berbagai barang yang akan dibawanya. 
“Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry 
muncul di puncak tangga. “Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!” 
Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana 
jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah 
memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit 
rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu 
Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya. 
“Ya?” tanya Harry. 
“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah 
paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai 
tenggorokannya. 
Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai 
memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas. 
Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi, 
paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara. 
“Aku berubah pikiran,” katanya. 

“Mengejutkan sekali,” kata Harry. 
“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan 
suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya, 
menyuruhnya diam. 
“Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan 
matanya yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami
akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana.” 
Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan 
kagum. Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat 
jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan 
berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah 
saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju 
ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya 
terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya. 
“Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan 
berjalan berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya. 
Yang disebabkan oleh… oleh…” 
“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry. 
“Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry 
lagi. “Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau 
berencana untuk mengambil alih rumah ini.” 
“Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?” 
“Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut. 
“Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau 
akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah 
ini sudah jadi atas namamu dan…” 
“Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih 
rumah? Apa kalian sebodoh tampang kalian?” 
“Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya 
diam. 
“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya 
untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang 
indah?” 
Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya. 
“Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…” 
“Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan 
kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya 
pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley…”
Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa 
pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim 
panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan 
Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak 
senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan 
setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak 
mungkin disambut hangat oleh paman Vernon. 
“… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry 
tanpa penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang 
menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde 
yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin 
bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk 
menyelamatkanmu.” 
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan 
hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata, 
“Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu. 
Kalian telah ditawari perlindungan terbaik.” 
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari 
mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas 
rumput halamannya. 
“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba. 
“Memang ada,” kata Harry, terkejut. 
“Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai 
korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari 
pemerintah!” 
Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya 
mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci. 
“Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan. 
“Kami pikir Kementriran telah disusupi.” 
Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam 
membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu 
karena berkonsentrasi. 
“Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala 
alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley?” 
Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya. 
Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali. 
“Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga 
Perdana Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.” 
“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang 
kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di 
belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit. 
Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk 
suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley, 
menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun 
mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai antingnya. 
“Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan 
Dedalus Diggle mampu menjaga kalian…” 
“Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry 
kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar 
TV. 
“Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau 
apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal, 
dan dia ada di belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini 
padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang. 
Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak 
ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!” 
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu 
tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa 
mereka… ada begitu banyak?” 
“Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu? 
Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi
beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang 
terjadi…” 
“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…” 
“Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas, 
semuanya – Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat 
yang disihir oleh Sihir Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan
bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin 
kau akan membutuhkan bantuan.” 
Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid 
menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman 
Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi 
bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya 
hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian…” 
“Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan 
membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!” 
“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan 
orang-orang Orde.” 
“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan 
hal yang masuk akal.” 
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup 
ketakutan hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan 
menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry 
memerhatikan jam yang berada di atas perapian. 
“Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun 
membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari 
bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat 
membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau 
katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun? 
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar 
Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan 
Hedwig. 
“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan 
kau dapat terbang.” 
Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan 
turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga 
Dursley sendirian. 
“Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry 
membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung 
membungkukkan badannya. “Sebuah kehormatan!”
“Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia. 
“Baik sekali kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras, 
bibi, paman, dan sepupuku…” 
“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan 
masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat 
menemui mereka. 
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung 
menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu. 
“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry 
katakan pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita 
akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum 
diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk 
menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo 
sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu 
bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang harus melakukannya?” ia bertanya 
dengan sopan pada paman Vernon. 
“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata 
paman Vernon tersinggung. 
“Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua 
tombol dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba 
menyanjung Vernon Dursley. 
“Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak. 
Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya. 
“Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada 
sedikit perubahan rencana…” 
“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan 
membawaku ber-Apparate?” 
“Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.” 
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka 
mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!” 
Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara 
itu berasal dari jam saku Dedalus. 
“Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan
memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau 
berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena 
perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan.” 
Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley, “Sudah siap?” 
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku 
mantel Dedalus. 
“Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan 
terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata. 
“Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi 
penjelasan, dan langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.” 
Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah 
pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan 
menggerakkannya maju mundur seperti metronome. 
“Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus 
menghindar untuk menatap Harry. 
Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka, 
mengingatkan Harry akan Grawp. 
“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon. 
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.” 
“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya. 
Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry, 
“Mengapa dia tidak pergi bersama kita?” 
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran, 
seakan 
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina. 
“Apa?” kata paman Vernon. 
“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley. 
“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan, 
“Kau 
tidak ingin, kan?”
“Tidak sedikit pun,” kata Harry.
“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo 
berangkat.” 
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi 
Dudley
tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah.
“Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan. 
Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak 
mudah 
diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi, 
ke mana 
dia akan pergi?”
Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah 
membuat 
mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian. 
“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak 
kebingungan. 
“Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah 
satu 
temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita 
terburu-buru.”
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya. 
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku 
melihat 
bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter 
yang begitu 
terkenal.
“Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.” 
“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang 
itu tidak PDF by Kang Zusi
tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang 
dalam 
bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan antiVoldemort?” 
“Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya 
buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa…” 
“Kau tidak sedang buang-buang waktu.” 
Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan 
percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa 
sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tibatiba Harry merasa malu dan terpesona. 
“Yah… er… terima kasih, Dudley.” 
Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba 
menggumam, “Kau telah menyelamatkan nyawaku.” 
“Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…” 
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas 
ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry 
memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin, 
cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit 
tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah 
mati saat mengungkapkan perasaannya. Setelah membuka mulutnya satu dua 
kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam. 
Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali 
marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry. 
“Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik… 
memengucapkan terima kasih…” 
“Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah. 
“Dia hanya bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!” 
“Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta 
padamu”,” kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan
ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja 
menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar. 
“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di 
ruang tamu. “Aku kira kita punya sedang diburu waktu!” 
“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat 
apa yang terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…”
Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya. 
“… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir 
berada di pundakmu.” 
“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.” 
“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu 
bersamamu.” 
“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke 
arah Bibi Petunia dan Dudley. 
“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan 
topinya saat meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya. 
Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati 
Harry, lalu menyodorkan tangannya yang besar. 
“Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?” 
“Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.” 
“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan 
menjabatnya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.” 
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat 
mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu 
ditutup. 
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka 
hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan 
saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai 
jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry. 
“Sampai jumpa,” kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan 
teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh 
dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia 
menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami 
dan anaknya.