Harry Potter

Jumat, 24 Mei 2013

Bab 5: Fallen Warrior (Pejuang yang Gugur )

“Hagrid?” 
Harry memaksa dirinya untuk bangun dan melepaskan diri dari reruntuhan logam 
dan kulit yang menutupinya. Tangannya terendam beberapa senti di dalam air 
berlumpur saat ia mencoba untuk berdiri. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba
Voldemort menghilang dan berharap kegelapan ini segera hilang. Sesuatu yang 
panas dan basah mengalir dari dahi ke pelipisnya. Ia merangkak keluar dari 
kolam dan berusaha untuk mendekati Hagrid yang tampak seperti gundukan 
hitam besar di atas tanah. 
“Hagrid? Hagrid, bicaralah padaku…” 
Tapi gundukan itu diam saja. 
“Siapa di sana? Apakah itu kau, Potter? Kaukah Harry Potter?” 
Harry tidak mengenali suara pria itu. Lalu terdengar suara teriakan 
seorang wanita, “Mereka menabrak, Ted! Mereka di kebun!” 
Kepala Harry basah. 

“Hagrid,” ulang Harry, lututnya tersangkut. 
Hal selanjutnya yang ia ingat adalah ia sedang tertidur di atas sesuatu yang 
empuk. Dada dan tangan kanannya terasa terbakar. Giginya yang patah sudah 
tumbuh kembali. Bekas lukanya masih terasa menyakitkan. 
“Hagrid?” 
Ia membuka mata dan melihat dirinya sedang berbaring sofa di sebuah ruang 
duduk yang tidak ia kenal. Ranselnya tergeletak di lantai tak, basah dan penuh 
lumpur. Seorang pria berperut tambun sedang melihat Harry penuh rasa 
khawatir. 
“Hagrid baik-baik saja, nak,” kata pria itu, “istriku sedang merawatnya. 
Bagaimana keadaanmu? Ada yang patah? Aku telah menyembuhkan tulang iga, 
tangan, dan gigimu. Aku Ted, Ted Tonks, ayah Dora.” 
Harry duduk terlalu mendadak membuat matanya berkunang-kunang dan 
membuatnya merasa pusing. 
“Voldemort…” 
“Tenang,” kata Ted Tonks, sambil menyuruh Harry kembali untuk berbaring. 
“Kau baru saja mengalami tabrakan hebat tadi. Apa yang terjadi? Apa ada yang 
salah dengan sepeda motornya? Apa Arthur Weasley terlalu memaksa dirinya 
dengan alat-alat Muggle itu?” 
“Tidak,” kata Harry, bekas lukanya mulai berdenyut lagi. “Pelahap Maut, begitu 
banyak, mereka mengejar kami…” PDF by Kang Zusi
“Pelahap Maut?” tanya Ted tajam. “Apa maksudmu? Aku pikir mereka tidak tahu 
bahwa kau akan dipindahkan malam ini.” 
“Mereka tahu,” kata Harry. 
Ted Tonks melihat langit-langit seakan-akan ia bisa langsung melihat langit. 
“Kalau begitu, perlindungan kami telah berhasil mencegah mereka, kan? 
Mereka tidak bisa mendekati rumah ini dalam jarak ratusan meter dari 
berbagai arah.” 
Sekarang Harry tahu mengapa Voldemort tiba-tiba menghilang. Ia telah 
berhasil masuk ke dalam area perlindungan. Sekarang ia hanya berharap kalau 
mantra perlindungan itu cukup kuat. Karena saat ini ia bisa membayangkan 
Voldemort, beratus-ratus meter jauhnya, sedang mencari cara untuk masuk ke 
dalam sesuatu yang Harry bayangkan seperti sebuah gelembung transparan 
yang sangat besar. 
Harry mencoba untuk berdiri. Ia harus melihat Hagrid dengan mata kepalanya 
sendiri sebelum ia percaya kalau Hagrid masih hidup. Saat ia hampir berdiri, 
pintu tiba-tiba membuka dan Hagrid mencoba melewatinya. Wajahnya penuh 
lumpur dan darah, sedikit terpincang, tapi tetap hidup. 
“Harry!” 
Hanya butuh dua langkah besar bagi Hagrid untuk menyebrangi ruangan dan 
menarik Harry ke dalam pelukannya dan hampir mematahkan tulang iganya 
yang baru saja di sembuhkan. “Ya ampun, Harry, bagaimana kau bisa 
menghadapi mereka semua? Aku pikir kita akan mati.” 
“Aku juga. Aku tak bisa percaya…” 
Harry terdiam. Ia baru mengenali seorang wanita yang ada di belakang Hagrid. 
“Kau!” teriak Harry sambil mencoba meraih sesuatu di kantungnya tapi tidak 
ada. 
“Tongkatmu ada di sini, nak,” kata Ted, menyerahkan tongkat Harry. “Tadi 
terjatuh, dan aku memungutnya. Dan kau baru saja berteriak pada istriku.” 
“Oh, aku, aku minta maaf.” 
Saat wanita itu mendekati mereka, terlihat kemiripan Mrs. Tonks dengan 
saudarinya Bellatrix. Namun rambutnya berwarna coklat lembut, matanya 
lebih lebar, dan tampak lebih ramah. Tapi ia terlihat sedikit terkejut setelah
diteriaki Harry. 
“Apa yang terjadi dengan putri kami?” tanyanya. “Hagrid bilang tadi kalian 
diserang. Di 
mana Nymphadora?” 
“Aku tidak tahu,” kata Harry. “Kami tidak tahu bagaimana keadaan yang lain.” 
Ted dan istrinya bertukar pandang. Rasa takut dan bersalah bercampur dalam 
dada Harry. 
Bila ada yang meninggal, itu adalah kesalahannya, semua adalah salahnya. Ia 
telah 
menyetujui rencana itu dan memberikan rambutnya… 
“Portkey,” tiba-tiba Harry teringat. “Kami harus ke the Burrow dan mencari 
tahu. Nanti 
akan langsung kami kabari begitu Dora…” 
“Dora akan baik-baik saja. Dia tahu apa yang dia kerjakan. Dia sudah sering 
melakukan 
ini bersama para Auror. Kemarilah,” tambah Ted. “Kalian akan berangkat dalam 
waktu 
tiga menit.” 
“Baiklah,” kata Harry. Ia mengambil ranselnya dan menyandangnya di pundak. 
“Aku…” 
Ia melihat Mrs. Tonks ingin meminta maaf atas segala hal yang terjadi, ia 
merasa 
bertanggung jawab. Tapi tidak satu kata pun keluar. 
“Aku akan beritahu Tonks – Dora – untuk mengabari kalian, saat dia… 
terima kasih 
sudah menolong kami, terima kasih untuk segalanya. Aku…” 
Harry merasa lega saat ia meninggalkan ruangan itu dan mengikuti Ted Tonks 
menuju 
kamar tidur. Hagrid berada di belakangnya, menunduk dalam-dalam agar tidak
terantuk 
kusen pintu. 
“Itu Portkey-nya, nak.” 
Mr. Tonks menunjuk sebuah sisir kecil berwarna keperakan yang ada di atas 
meja rias. 
“Terima kasih,” kata Harry, yang langsung menyentuhkan jarinya, siap untuk 
berangkat. 
“Dia… dia kena,” kata Harry. 
Teringat sesaat ledakan itu membuatnya merasa bersalah dan setitik air mata 
ada di ujung 
matanya. Hedwig telah menjadi kawannya, ia adalah penghubungnya dengan 
dunia sihir 
saat ia kembali ke rumah keluarga Dursley. 
Hagrid menepuk-tepuk tangannya yang besar ke pundak Harry. 
“Tidak apa-apa,” katanya muram. “Tidak apa-apa. Dia telah hidup cukup lama…” 
“Hagrid!” Ted Tonks mengingatkan. Sisirnya mulai bercahaya biru terang dan 
Hagrid 
langsung menyentuhkan jarinya. 
Sentakan dari belakang mengangkat mereka seperti kaitan yang tak terlihat, 
membuat Harry berputar tak terkendali. Jarinya menempel di Portkey saat ia 
meninggalkan rumah keluarga Tonks. Sedetik kemudian ia terlempar ke tanah 
yang keras dengan tangan dan lutut menyentuh halaman the Burrow terlebih 
dulu. Ia mendengar teriakan. Harry berdiri dan berjalan perlahan, dan melihat 
Mrs. Weasley dan Ginny yang berlari keluar dari pintu belakang. Hagrid yang 
juga terjatuh saat mendarat, berusaha berdiri di atas kakinya. 
“Harry? Apakah kau benar-benar Harry? Apa yang terjadi? Mana yang lain?” 
teriak Mrs. Weasley. 
“Apa maksudmu? Apa belum ada yang kembali?” kata Harry. 
Jawabannya sudah jelas saat ia melihat wajah pucat Mrs. Weasley. 
“Pelahap Maut sudah menunggui kami,” Harry menceritakan. “Kami langsung 
dikelilingi sesaat setelah kami berangkat – mereka tahu tentang malam ini – aku 
tidak tahu apa yang terjadi pada yang lain. Empat di antaranya mengejar kami 
saat kami berhasil menjauhkan diri, dan Voldemort berhasil menemukan kami…” 
Harry dapat mendengar jelas nada pembelaan dalam ceritanya, sebuah alasan
mengapa ia tidak tahu bagaimana keadaan yang lain. 
“Syukurlah kau baik-baik saja,” Mrs. Weasley langsung memberikan pelukan 
yang Harry anggap ia tidak pantas dapatkan. 
“Punya sdikit brandy, Molly?” tanya Hagrid yang gemetaran. “Tuk tujuan 
pengobatan?” 
Ia bisa saja mengambilnya dengan shir, tapi ia berlari masuk ke rumah. Harry 
tahu kalau Mrs. Weasley ingin menyembunyikan perasaannya. Harry melihat 
Ginny yang langsung memberinya berita. 
“Ron dan Tonks harusnya kembali pertama, tapi mereka terlambat mencapai 
Portkey,” katanya sambil menunjuk kaleng berkarat tak jauh dari sana. “Dan 
itu,” ia menunjuk sepatu tua, “harusnya ayah dan Fred menjadi yang kedua. 
Kau dan Hagrid yang ketiga, dan” Ginny melihat jamnya, “jika mereka 
berhasil, George dan Lupin akan kembali semenit lagi.” 
Mrs. Weasley muncul sambil membawa sebotol brandy yang langsung 
diserahkannya ke Hagrid. Hagrid membuka tutupnya dan langsung 
menghabiskannya dalam sekali minum. 
“Mum!” teriak Ginny sambil menunjuk sebuah titik. 
Cahaya kebiruan muncul dari kegelapan yang makin besar dan makin terang. 
Lupin dan George muncul, berputar lalu terjatuh. Harry melihat sesuatu yang 
tidak baik. Lupin membopong George yang tidak sadarkan diri dan darah 
menutupi wajahnya. 
Harry berlari dan membantu mengangkat kaki George. lupin dan Harry membawa 
George masuk ke dalam rumah melalui dapur dan meletakkannya di sofa di ruang 
duduk. Saat cahaya lampu menerangi George, Ginny terperangah dan perut 
Harry terasa terpelintir. George kehilangan satu telinganya. Kepala dan 
lehernya basah, dibanjiri darah segar. 
Mrs. Weasley langsung berlutut di sebelah putranya saat Lupin memegang 
tangan Harry dan menariknya kasar, membawanya kembali ke dapur, di mana 
Hagrid masih terjebak di pintu. 
“Oi!” kata Hagrid marah. “Lepaskan Harry! Lepaskan dia!” 
Lupin tidak peduli. 
“Makhluk apa yang ada di pojok ruangan saat Harry Potter masuk ke dalam 
kantorku di Hogwarts?” tanyanya sambil menggoncang Harry. “Jawab!”
“Grind-grindylow dalam tank.” 
Lupin melepaskan cengkeramannya dan jatuh bersandar di lemari dapur. 
“Apa itu tadi?” teriak Hagrid. 
“Maaf Harry, tapi aku harus memastikan,” kata Lupin. “Ada pengkhianat di 
antara kita. Voldemort tahu kau dipindahkan malam ini dan orang yang bisa 
membocorkannya adalah orang yang menjemputmu. Bisa saja kaulah penipu 
itu.” 
“Mengapa kau tidak memastikan aku?” tanya Hagrid yang masih berusaha 
keluar dari pintu. 
“Kau setengah-raksasa,” kata Lupin sambil melihat Hagrid. “Ramuan Polyjus 
didesain khusus untuk manusia.” 
“Rasanya tidak mungkin salah satu dari anggota Orde yang akan 
membocorkannya pada Voldemort,” kata Harry. Gagasan itu begitu 
mengejutkan, Harry memercayai mereka semua. “Voldemort mengejarku sesaat 
kami hampir tiba, dia tidak mengenaliku pada awalnya. Kalau orang itu tahu 
rencana kita, tentu Voldemort tahu bahwa aku pergi bersama Hagrid.” 
“Voldemort mengejarmu?” tanya Lupin tajam. “Apa yang terjadi? Bagaimana 
kau bisa lolos?” 
Harry meringkas ceritanya, bagaimana seorang Pelahap Maut mengenalinya, 
bagaimana mereka meninggalkan pengejaran dan memanggil Voldemort, dan 
bagaimana mereka semua muncul sesaat Harry berhasil mencapai rumah orang 
tua Tonks. 
“Mereka mengenalimu? Tapi bagaimana mungkin? Apa yang telah kau lakukan?” 
“Aku…” Harry berusaha untuk mengingat perjalanan yang membingungkan dan 
penuh rasa panik tadi. “Aku melihat Stan Shunpike… kau tahu, kondektur Bus 
Ksatria? Aku mencoba melucuti senjatanya. Sepertinya dia tidak tahu apa yang 
dia lakukan, dia pasti di bawah Mantra Imperius!” 
Lupin terperanjat. 
“Harry, masa melucuti senjata sudah lewat! Orang-orang ini berusaha 
menangkap dan membunuhmu! Paling tidak pingsankan mereka kalau kau tidak 
ingin membunuh mereka!” 
“Kami ada ratusan meter di atas tanah! Dan Stan bukan dirinya sendiri! Bila aku
membuatnya pingsan, dia akan jatuh dan mati! Tidak ada bedanya bila aku 
memakai Avada Kedavra! Expelliarmus telah menyelamatkanku dari Voldemort 
dua tahun yang lalu,” tambah Harry. Lupin mengingatkan Harry pada Zacharias 
Smith, anak Hufflepuff, yang mengejek dirinya saat Harry mengajari Laskar 
Dumbledore Mantra Perlucutan Senjata. 
“Tentu saja, Harry,” kata Lupin mengalah, “dan ratusan Pelahap Maut melihatmu 
melakukannya! Maafkan aku, tapi itu bukanlah mantra yang umum bila kau ada di 
ujung kematian. Dan kau memakainya lagi di depan para Pelahap Maut yang 
pernah melihatmu, atau paling tidak mendengarmu, melakukannya di saat kau 
terancam.” 
“Jadi lebih baik bila aku membunuh Stan Shunpike?” kata Harry marah. 
“Tentu saja tidak,” kata Lupin, “tapi, para Pelahap Maut, dan banyak orang 
lain, mengharapkanmu untuk melawan mereka! Expelliarmus adalah mantra 
yang berguna, Harry. Tapi sepertinya Pelahap Maut menganggap bahwa itu 
adalah penanda, mantra yang selalu kau pakai. Dan aku ingatkan kau untuk 
tidak membiarkannya menjadi penandamu.” 
Lupin membuat Harry merasa seperti orang idiot tapi Harry masih ingin 
melawan. 
“Aku tidak ingin meledakkan orang yang menghalangi jalanku,” kata Harry. “Itu 
kerjaan Voldemort.” 
Lupin tidak sempat membalas karena Hagrid, yang akhirnya bisa membebaskan 
dirinya dari pintu, berjalan terhuyung, jatuh terduduk, dan menjatuhi Lupin. 
Harry langsung bertanya lagi pada Lupin. 
“Apakah George akan baik-baik saja?” 
Semua kemarahan Lupin tiba-tiba menguap saat mendengar pertanyaan itu. 
“Semoga saja. Walau tidak mungkin untuk mengembalikan telinganya, tidak 
mungkin 
bila disebabkan oleh kutukan.” 
Terdengar suara dari luar. Lupin langsung berlari keluar dari dapur. Harry 
meloncati kaki 
Hagrid dan mengekor keluar. 
Dua orang telah muncul di halaman dan terlihat Hermione, yang sudah kembali
ke bentuk 
semula, bersama Kingsley, keduanya memegangi gantungan baju. Hermione 
langsung 
melingkarkan lengannya untuk memeluk Harry, tapi Kingsley tidak terlihat 
senang. 
Melalui bahu Hermione ia melihat Kingsley mengangkat tongkat dan
mengarahkannya ke 
dada Lupin. 
“Apa kata-kata terakhir yang Dumbledore katakan pada kita?”
“’Harry adalah harapan kita. Percayalah padanya,’” kata Lupin tenang. 
Kingsley mengarahkan tongkatnya pada Harry, tapi Lupin berkata, “Itu memang 
dia, 
sudah kuperiksa.” 
“Baiklah,” kata Kingsley yang langsung memasukkan tongakatnya ke dalam jubah. 
“Tapi 
seseorang berkhianat! Mereka tahu, mereka tahu tentang malam ini!” 
“Sepertinya,” jawab Lupin, “tapi sepertinya mereka tidak tahu kalau akan ada 
tujuh orang 
Harry.” 
“Untung sekali,” kata Kingsley geram. “Siapa saja yang sudah kembali?” 
“Hanya Harry, Hagrid, George, dan aku.” 
Hermione terperanjat dan mengatupkan tangan menutupi mulutnya. 
“Apa yang terjadi pada kalian?” tanya Lupin pada Kingsley. 
“Diburu lima Pelahap Maut, berhasil melukai dua orang, dan mungkin 
membunuh 
seorang,” kata Kingsley sambil terhuyung, “dan berhadapan langsung dengan 
Kau-Tahu-Siapa, dia datang di tengah pengejaran lalu menghilang. Remus, dia 
bisa…” 
“Terbang,” potong Harry. “Aku juga bertemu dengannya, dia mengejarku dan 
Hagrid.” “Jadi itu alasannya dia menghilang, untuk mengejarmu!” kata Kingsley. 
“Aku tidak tahu mengapa dia tiba-tiba pergi. Tapi mengapa dia tiba-tiba 
mengubah target?” PDF by Kang Zusi
“Harry bersikap terlalu baik pada Stan Shunpike,” kata Lupin. 
“Stan?” ulang Hermione. “Tapi, aku kira dia ada di Azkaban.” 
Kingsley tertawa suram. 
“Hermione, telah terjadi pelarian besar-besaran yang tidak diberitakan oleh 
Kementrian. 
Tudung Traver terlepas saat aku melawannya, dan dia seharusnya ada di 
Azkaban juga. 
Apa yang terjadi padamu Remus? Di mana George?” 
“Dia kehilangan salah satu telinganya,” kata Lupin. 
“Kehilangan apa?” ulang Hermione dengan nada tinggi. 
“Hasil kerja Snape,” kata Lupin. 
“Snape?” teriak Harry. “Kau tidak bilang…” 
“Tudungnya terlepas saat pengejaran. Sectusempra memang sudah jadi 
spesialisasi 
Snape. Rasanya aku ingin membalasnya, tapi aku harus memegangi George di 
atas sapu 
setelah dia terluka, dia kehilangan begitu banyak darah.”
Mereka berempat terdiam saat menatap ke langit. Tidak ada tanda apa pun di 
sana. Hanya 
bintang yang tidak berkedip dan tampak sama. Di mana Ron? Di mana Fred dan 
Mr. 
Weasley? Di mana Bill, Fleur, Tonks, Mad-Eye, dan Mundungus? 
“Harry, tolong aku!” kata Hagrid yang terjepit lagi di pintu. Lega saat harus 
melakukan 
sesuatu, Harry menarik Hagrid hingga terlepas dari pintu, lalu masuk ke dalam 
dapur dan 
terus ke ruang duduk, di mana Mrs. Weasley dan Ginny masih merawat George. 
Mrs. 
Weasley berhasil menghentikan pendarahan, dan di bawah sinar lampu Harry 
bisa 
melihat sebuah lubang, di mana seharusnya ada telinga George. 
“Bagaimana keadaannya?”
Mrs. Weasley menoleh dan berkata, “Aku tidak dapat menumbuhkannya kembali, 
tidak 
bisa kalau hilang karena Ilmu Hitam. Tapi bisa saja lebih buruk… untung saja 
dia masih 
hidup.” 
“Ya,” kata Harry. “Syukurlah.” 
“Rasanya aku mendengar yang lain di halaman,” kata Ginny. 
“Hermione dan Kingsley.” 
“Syukurlah,” bisik Ginny. Mata mereka saling memandang. Ingin rasanya Harry 
memeluknya, bergantung padanya, ia bahkan tidak peduli ada Mrs. Weasley di 
sana, tapi sebelum Harry melakukan apa yang ia inginkan terdengar suara 
teriakan dari dapur. 
“Akan kubuktikan diriku, Kingsley, tapi setelah aku melihat keadaan anakku. 
Sekarang 
minggir kalau kau tahu apa harus kau lakukan!” 
Harry tidak pernah mendengar Mr. Weasley berteriak sebelumnya. Ia 
menerobos masuk 
ke ruang duduk. Kepalanya yang botak dipenuhi keringat dan kacamatanya 
miring. Fred 
berdiri di belakangnya. Keduanya tampak pucat tapi tidak terluka. 
“Arthur!” isak Mrs. Weasley. “Oh, syukurlah!” 
“Bagaimana keadaannya?” 
Mr. Weasley langsung berlutut di sebelah George. Untuk pertama kalinya Harry 
melihat 
Fred kehilangan kata-kata. Ia berdiri di belakang sofa melihat luka 
kembarannya dan 
sepertinya tak percaya akan apa yang ia lihat. 
Mungkin karena mendengar suara kedatangan Fred dan ayahnya, George mulai 
sadar. 
“Bagaimana perasaanmu, Georgie?” tanya Mrs. Weasley. 
George memegang sisi kepalanya. 
“Seperti seorang malaikat,” gumamnya.
“Ada apa dengannya?” teriak Fred ketakutan. “Apakah otaknya juga terganggu?” 
“Seperti seorang malaikat,” ulang George sambil menatap saudaranya. “Kau 
tahu… aku holy (suci). Holey (berlubang)*, Fred, ngerti?” 
Suara isakan Mrs. Wealey semakin keras. Wajah pucat Fred mulai berwarna. 
“Menyedihkan!” kata Fred pada George. “Menyedihkan! Dari begitu banyak 
humor tentang telinga di dunia ini, kau pilih holey?” “Ah, menyebalkan,” George 
tersenyum pada ibunya yang sedang menangis. “Sekarang 
kau bisa membedakan kami, Bu.” 
George memerhatikan sekelilingnya. 
“Hai Harry! Kau Harry, kan?” 
“Ya,” kata Harry sambil mendekat ke sofa. 
“Paling tidak, kami bisa membantumu,” kata George. “Mengapa Ron dan Bill tidak 
ada
di sini dan menangisi aku?” 
“Mereka belum kembali, George,” kata Mrs. Weasley. Senyum George 
langsung 
menghilang. Harry memandang Ginny dan memintanya untuk menemaninya ke 
halaman belakang. Saat mereka berjalan melewati dapur, Ginny berbicara 
perlahan, “Ron dan Tonks harusnya akan datang sebentar lagi. Jarak mereka 
tidak terlalu jauh. Rumah bibi Muriel tidak jauh dari sini.” 
Harry diam saja. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya sejak ia 
tiba di the Burrow. Tapi kini rasa takut itu menyelimutinya, merambati kulitnya, 
menyakiti dadanya, menyumbat tenggorokannya. Saat mereka keluar di halaman 
belakang yang gelap, Ginny meraih tangannya. 
Kingsley berjalan berputar-putar, berkali-kali melihat ke langit. Mengingatkan 
Harry pada paman Vernon yang juga suka melakukannya di ruang tamu berjuta 
tahun lalu. Hagrid, Hermione, dan Lupin berdiri berjajar dalam diam, melihat 
ke atas. Tak seorang pun sadar saat Harry dan Ginny bergabung. 
Semenit terasa seperti bertahun-tahun. Bahkan hembusan angin paling 
ringan yang menyentuh semak dan pohon membuat mereka terlonjak dan 
mencari-cari dari mana gerakan itu berasal. Berharap anggota Orde akan 
muncul dari balik dedaunan.
Lalu sesuatu yang terbang di atas mereka turun menuju tanah. 
“Itu mereka!” teriak Hermione. 
Tonks mendarat. “Remus!” teriak Tonks yang terhuyung turun dari sapunya 
dan jatuh dalam pelukan Lupin. Wajah Lupin berubah kaku dan pucat dan 
tampak tidak bisa berbicara. Ron tersandung ke arah Harry dan Herminone. 
“Kalian baik-baik saja,” kata Ron yang langsung dipeluk erat oleh Hermione. 
“Aku tak apa-apa,” kata Ron sambil menepuk-nepuk punggung Hermione. “Aku 
baikbaik saja.” 
“Ron hebat,” kata Tonks hangat sambil melepaskan diri dari pegangan Lupin. 
“Luar biasa. Memingsankan seorang Pelahap Maut, tepat di kepala, dan saat 
kau membidik target bergerak dari sapu yang sedang terbang…” 
“Kau melakukannya?” kata Hermoine menatap Ron, tangannya masih 
dikalungkan di leher Ron. 
“Selalu dengan nada kaget,” katanya sedikit marah, mencoba melepaskan diri 
dari tangan Hermione. “Apa kami yang terakhir?” 
“Tidak,” kata Ginny, “kami masih menunggu Bill, Fleur, Mad-Eye, dan Mundungus. 
Aku akan bilang pada ayah dan ibu kalau kau baik-baik saja.” 
Ginny berlari masuk. 
“Apa yang menahanmu? Apa yang terjadi?” suara Lupin bernada sedikit marah. 
“Bellatrix,” kata Tonks. “Dia begitu menginginkanku seperti dia menginginkan 
Harry, 
Remus. Dia berusaha untuk membunuhku. Aku ingin membalasnya, aku berhutang 
pada 
Bellatrix. Tapi kami berhasil melukai Rodolphus… saat kami tiba di rumah bibi 
Ron, 
Muriel, kami ketinggalan Portkey. Dia begitu marah pada kami…” 
Tampak sebuah otot muncul di rahang Lupin. Ia mengangguk tapi tidak bisa 
berkata apaapa. 
“Jadi, apa yang terjadi pada kalian?” tanya Tonks pada Harry, Hermione, dan 
Kingsley. PDF by Kang Zusi
Mereka menceritakan kembali cerita masing-masing. Namun ketidakadaan Bill, 
Fleur, 
Mad-Eye, dan Mundungus membuat mereka makin merasa khawatir. 
“Aku harus kembali ke Downing Street. Seharusnya aku tiba di sana satu jam 
yang lalu,” 
kata Kingsley setelah menatap langit untuk terakhir kalinya. “Beritahu aku bila 
mereka 
sudah kembali.” 
Lupin mengangguk. Kingsley melambaikan tangannya dan berjalan di kegelapan 
menuju 
pagar. Lalu Harry mendengar suara pop saat Kingsley ber-Disapparate di luar 
the 
Burrow. 
Mr. dan Mrs. Weasley keluar dari rumah diikuti Ginny di belakang mereka. 
Mereka 
langsung memeluk Ron lalu beralih pada Lupin dan Tonks. 
“Terima kasih,” kata Mrs. Weasley, “sudah menjaga anak-anak kami.” 
“Jangan begitu, Molly,” kata Tonks. 
“Bagaimana George?” tanya Lupin. 
“Ada apa dengannya?” tanya Ron. 
“Dia kehilangan…” 
Kalimat Mrs. Weasley tak terselesaikan saat terdengar suara tangisan. Seekor 
Thestral 
muncul dan mendarat beberapa meter dari mereka. Bill dan Fleur turun, agak 
kacau tapi 
tidak terluka.
Mrs. Weasley berlari mendekati mereka tapi Bill tidak membalas pelukan 
ibunya. Ia 
menatap lurus-lurus ke mata ayahnya dan berkata, “Mad-Eye meninggal.”
Tak seorang pun berbicara. Tak seorang pun bergerak. Harry merasa sesuatu 
dari dirinya sedang jatuh, jatuh dalam ke bumi, meninggalkan dirinya untuk 
selamanya. 
“Kami melihatnya,” kata Bill. Fleur mengangguk, air matanya berkilauan 
tertimpa cahaya lampu dari dapur. “Terjadi begitu saja. Mad-Eye dan Dung ada 
di sebelah kami, mereka juga mengarah ke utara. Voldemort – dia bisa terbang 
– dia langsung mengejar mereka. Dung panik, aku mendengarnya berteriakteriak, Mad-Eye mencoba menyuruhnya diam, tapi dia tetap ber-Disapparate. 
Kutukan Voldemort tepat mengenai wajah Mad-Eye, dia terjatuh dari sapunya 
dan kami tidak bisa menolongnya. Kami sendiri dikejar enam Pelahap Maut…” 
Bill berhenti berbicara. 
“Jelas kalian tidak bisa menolongnya,” kata Lupin. 
Mereka berdiri sambil memandang satu sama lain. Harry tidak paham. Mad-Eye 
meninggal. Tidak mungkin… Mad-Eye yang begitu tangguh, begitu berani, yang 
selalu bisa bertahan hidup… 
Semuanya mengerti, tanpa seorang pun yang mengatakannya, tak ada gunanya 
lagi menunggu di halaman belakang. Dalam diam, mereka mengikuti tuan dan Mrs. 
Weasley masuk ke the Burrow, langsung ke ruang duduk, di sana Fred dan 
George sedang bercanda. 
“Ada apa?” tanya Fred memerhatikan wajah mereka yang baru masuk. 
“Apa yang terjadi? Siapa yang…” 
“Mad-eye,” kata tuan Weasley, “meninggal.” 
Senyum di wajah si kembar hilang berganti dengan rupa terkejut. Sepertinya 
tak seorang pun tahu apa yang harus mereka lakukan. Tonks menangis dalam 
diam di balik saputangannya. Harry tahu, Tonks dekat dengan Mad-Eye, ia murid 
kesayangan Mad-Eye di Kementrian Sihir. Hagrid yang duduk di lantai di pojok 
ruangan dan menghabiskan paling banyak tempat, sedang mengusap matanya 
dengan saputangan seukuran taplak. 
Bill berjalan menuju lemari dan mengeluarkan gelas dan sebotol Firewhisky. 
“Ini,” katanya, dan dengan ayunan tongkatnya tiga belas gelas yang telah 
terisi yang terbang mendekati tiap orang yang ada di ruangan. “Untuk MadEye.”
“Mad-Eye,” kata semua orang dan meminumnya. 
“Mad-Eye,” kata Hagrid, terlambat, terdengar isakkannya. 
Firewhisky membasahi tenggorokan Harry. Membuatnya terasa terbakar, rasa 
kebas dan ketidakpercayaannya menghilang, memberinya semangat keberanian. 
“Jadi Mundungus menghilang?” kata Lupin yang langsung mengosongkan 
gelasnya sekali teguk. 
Keadaan langsung berubah. Tiap orang tampak waspada, melihat Lupin, 
menunggu ia melanjutkan. Tiba-tiba Harry takut akan apa yang akan 
didengarnya. 
“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” kata Bill, “aku juga memikirkan hal yang sama 
sepanjang perjalanan kemari, karena sepertinya Pelahap Maut sedang 
menunggui kita, kan? Tapi Mundungus tidak mungkin mengkhianati kita. Pelahap 
Maut tidak tahu akan ada tujuh orang Harry, mereka tampak kebingungan saat 
kita baru saja berangkat. Dan hanya untuk mengingatkan, adalah Mundungus 
yang mengajukan ide gila ini. Kalau dia membocorkannya, mengapa dia tidak 
langsung menceritakan keseluruhan rencana? Kurasa Dung panik, hanya itu. Dia 
tidak ingin jadi yang pertama diserang, tapi Mad-Eye membawanya, dan KauTahu-Siapa langsung menyerang mereka. Itu sudah cukup membuat seseorang 
menjadi panik.” 
“Kau-Tahu-Siapa bereaksi seperti perkiraan Mad-Eye,” isak Tonks. “Mad-Eye 
bilang bahwa Kau-Tahu-Siapa akan mengira bahwa Harry yang asli akan 
dijaga oleh Auror yang paling berpengalaman. Dia langsung mengejar MadEye, tapi begitu Mundungus menghilang, dia langsung mengincar Kingsley.” 
“Benar,” potong Fleur, “tapi itu tidak menjelaskan bagaimana mereka tahu kita 
akan memindahkan “’Arry malam ini, kan? Seseorang telah sembrono. 
Seseorang telah memberitahukan tanggal pemindahan pada orang luar. “’Anya 
itu penjelasan yang ada, bagaimana mereka tahu tanggal peminda”an tapi tidak 
tahu keseluru”an rencana.” 
Fleur memandang ke penjuru ruangan, terlihat sisa air mata membekas di 
wajahnya yang cantik, ia menantang bila ada yang tak sependapat. Tak seorang 
pun. Suara yang terdengar hanya isakkan Hagrid. Harry melihat Hagrid, yang 
sudah membahayakan diri untuk menyelamatkan Harry. Hagrid yang ia sayang, 
yang ia percaya, yang dengan mudah ditipu dan telah menukarkan informasi 
penting pada Voldemort dengan sebutir telur naga… 
“Tidak,” kata Harry keras, dan semuanya menoleh padanya, terkejut. Sepertinya
Firewhisky telah memperbesar suaranya. “Maksudku… bila seseorang melakukan 
kesalahan,” lanjut Harry, “dan tanpa sengaja memberitahukannya pada orang 
lain, aku tahu mereka tidak bermaksud seperti itu. Itu bukan kesalahan 
mereka,” ulang Harry, sudah dengan suaranya yang biasa. “Kita harus percaya 
satu sama lain. Aku percaya pada kalian semua. Aku yakin tak seorang pun di 
ruangan ini yang akan menyerahkanku pada Voldemort.” 
Tak ada yang menjawab. Semua tetap melihat Harry. Harry merasa panas, ia 
meminum Firewhiskynya sedikit. Lalu ia teringat Mad-Eye. Mad-Eye yang 
selalu mengomentari kebiasaan Dumbledore yang selalu percaya pada orang 
lain. 
“Bagus sekali, Harry,” kata Fred. 
“Ya, benar-benar bagus,” imbuh George sambil menatap Fred. 
Lupin menatap Harry dengan sebuah ekspresi aneh. Menatapnya penuh rasa 
kasihan, atau 
sayang. 
“Kau pikir aku idiot,” tantang Harry. 
“Tidak. Kupikir kau seperti James, “yang menganggap bahwa mengkhianati 
teman 
adalah aib paling memalukan.” 
Harry tahu ke mana arahnya. Ayahnya pernah dikhianati oleh temannya 
sendiri, Peter 
Pettigrew. Entah mengapa tiba-tiba Harry merasa marah. Tapi Lupin sudah 
menoleh, 
meletakkan gelasnya, dan berbicara pada Bill, “Ada sesuatu yang harus aku 
lakukan. Aku 
bisa meminta Kingsley, kalau kau…” 
“Tidak,” kata Bill, “akan ku lakukan.” 
“Mau ke mana?” kata Tonks dan Fleur bersamaan. 
“Mayat Mad-Eye,” kata Lupin, “kami harus mengambilnya.” 
“Tidak bisakah kalian…” Mrs. Weasley memohon pada Bill. 
“Menunggu?” kata Bill. “Tidak, kecuali bila kau ingin Pelahap Maut 
menemukannya PDF by Kang Zusi
lebih dulu.” 
Semuanya diam. Tiap orang berdiri saat Lupin dan Bill berpamitan. 
Setiap orang kembali duduk di kursi masing-masing kecuali Harry, yang 
tetap berdiri. 
“Aku harus pergi,” kata Harry. 
Sepuluh pasang mata memandanginya. 
“Jangan bodoh, Harry,” kata Mrs. Weasley. “Apa yang kau bicarakan?” 
“Aku tidak bisa tinggal di sini.” 
Harry menggosok dahinya. Bekas lukanya terasa menusuk lagi. Rasanya tak 
pernah 
sesakit ini dalam setahun terakhir. 
“Kalian dalam bahaya bila aku tetap tinggal di sini. Aku tidak ingin…” 
“Jangan bersikap bodoh, kalau begitu!” kata Mrs. Weasley. “Tujuan utama 
seluruh 
rencana malam ini adalah untuk membawamu ke sini dalam keadaan hidup. Dan 
untung 
saja berhasil. Bahkan Fleur sudah setuju untuk menikah di sini daripada di 
Perancis. 
Semua sudah diatur agar semua orang bisa berkumpul di sini dan menjagamu.” 
Mrs. Weasley tidak mengerti. Ia bahkan membuat Harry merasa lebih buruk. 
Bukan lebih 
baik. 
“Bila Voldemort tahu aku ada di sini…” 
“Mengapa dia harus tahu?” tanya Mrs. Weasley. 
“Kau mungkin saja di salah satu dari selusin rumah perlindungan lain, Harry,” 
kata tuan 
Weasley. “Kau-Tahu-Siapa tidak akan tahu di mana kau akan berada.” 
“Bukan itu yang aku khawatirkan!” kata Harry. 
“Kami tahu,” kata tuan Weasley tenang, “tapi seluruh usaha kami malam ini jadi 
sia-sia PDF by Kang Zusi
bila kau pergi.” 
“Kau tidak akan pergi ke mana-mana,” geram Hagrid. “Ya ampun, Harry, setelah 
semua hal yang kita lalui malam ini.” “Yah, bagaimana dengan telingaku?” kata 
George sambil menaikkan tubuhnya di atas 
bantal. 
“Aku tahu, tapi…” 
“Mad-Eye tidak akan…” 
“AKU TAHU!” teriak Harry. 
Ia merasa semua bersekongkol untuk melawannya. Mereka pikir Harry tidak 
tahu apa 
yang telah mereka lakukan untuknya. Apa mereka tidak mengerti justru 
karena itulah 
Harry ingin pergi, sebelum mereka lebih menderita demi Harry? Ada 
kecanggungan 
panjang di antara mereka. Bekas luka Harry semakin menusuk dan 
menyakitinya. 
Kesunyian itu akhirnya dipecah oleh Mrs. Weasley. 
“Di mana Hedwig, Harry?” bujuknya, “kita bisa membawanya bersama 
Pigwidgeon dan 
memberinya makan.” 
Rasanya isi perutnya mengepal menjadi satu. Ia tidak bisa menceritakannya. Ia 
menghabiskan Firewhiskynya menghindar dari menjawab pertanyaan. 
“Tunggu hingga hal itu muncul lagi, Harry,” kata Hagrid. “Lakukan lagi nanti saat 
kau 
berhadapan dengan Kau-Tahu-Siapa!” 
“Itu bukan aku!” kata Harry. “Itu tongkatku. Tongkatku melakukannya sendiri.” 
Setelah beberapa saat, Hermione berkata lembut, “Tapi tidak mungkin, Harry. 
Mungkin maksudmu, kau melakukan sihir tanpa kau bermaksud begitu, kau 
bereaksi sesuai nalurimu.” 
“Bukan,” kata Harry, “saat itu sepeda motornya sedang jatuh, dan aku tidak
tahu Voldemort ada di mana, tapi tongkatku bergerak sendiri dan menembakkan 
mantra yang bahkan aku tidak kenal. Aku tidak pernah membuat pancaran api 
keemasan sebelumnya.” 
“Terkadang,” kata tuan Weasley, “saat kau berada dalam keadaan terpojok, 
kau dapat menciptakan sihir yang bahkan tidak bisa kau bayangkan. Biasanya 
hal itu terjadi pada anak-anak, bahkan sebelum mereka…” 
“Bukan itu,” geram Harry dengan giginya terkatup. Bekas lukanya terasa 
terbakar. Ia merasa marah dan tertekan. Dia benci akan gagasan bahwa ia 
memiliki kekuatan yang dapat menandingi Voldemort. 
Tak ada yang berbicara. Harry tahu tidak ada yang percaya padanya. 
Sekarang ia memikirkannya, ia tidak pernah mendengar bahwa tongkat 
bisa menghasilkan sihir sendiri. 
Bekas lukanya benar-benar menyakitkan. Dia berusaha keras agar tidak 
mengerang keras-keras. Sambill bergumam tentang udara segar, Harry 
meletakkan gelasnya dan meninggalkan ruangan. 
Saat ia berjalan di halaman gelap, Thestral yang besar melihatnya, 
mengepakkan sayapnya yang seperti sayap kelelawar, kemudian melanjutkan 
merumput. Harry berhenti di dekat pagar, melihat ke arah tanaman yang 
tumbuh liar. Ia menggosok dahinya yang kesakitan. Ia sedang memikirkan 
Dumbledore. 
Dumbledore pasti akan memercayainya, ia tahu itu. Dumbledore tentu tahu 
bagaimana dan mengapa tongkatnya bereaksi sendiri, karena Dumbledore 
selalu tahu jawabannya. Dumbledore juga tahu tentang tongkatnya, bagaimana 
ia menjelaskan tentang hubungan antara tongkatnya dan tongkat Voldemort. 
Tapi Dumbledore, seperti Mad-Eye, Sirius, orang tuanya, dan burung hantunya 
yang malang, telah pergi sehingga Harry tidak bisa berbicara padanya lagi. Ia 
merasa tenggorokannya terbakar dan itu tidak ada hubungannya dengan 
Firewhisky. 
Lalu, rasa sakit di bekas lukanya memuncak. Saat ia memegangi dahinya dan 
menutup matanya, ia mendengar suara teriakan di dalam kepalanya. 
“Kau bilang masalahnya akan selesai bila aku menggunakan tongkat yang 
berbeda!” 
Lalu dalam pikirannya ia melihat sebuah gambaran tentang seorang pria tua 
kurus berbaring di atas kain kumal di lantai batu. Ia berteriak ketakutan. 
Berteriak karena rasa sakit yang luar biasa.
“Jangan! Jangan! Aku mohon, aku mohon…” 
“Kau berbohong pada Lord Voldemort, Ollivander!” 
“Tidak… aku tidak…” 
“Sepertinya kau ingin membantu Potter, membantunya melarikan diri!” 
“Sumpah, aku tidak… setahuku dengan tongkat yang berbeda…” 
“Jelaskan yang terjadi, kalau begitu. Tongkat Lucius hancur begitu saja!” 
“Aku tidak tahu… hubungan itu… hanya terjadi… antara kedua tongkat…” 
“Pembohong!” 
“Tolong… aku mohon…” 
Lalu Harry melihat sebuah tangan putih mengangkat tongkat dan merasakan 
kemarahan 
Voldemort yang luar biasa. Lalu ia melihat pria tua yang lemah itu 
menggeliat-geliat 
menahan sakit… 
“Harry?” 
Semua berhenti secepat saat tiba. Harry berdiri gemetar dalam gelap. 
Tangannya 
mencengkeram pagar. Jantungnya berdetak kencang. Bekas lukanya masih 
terasa nyeri. 
Butuh beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa Ron dan Hermione ada di 
sampingnya. 
“Harry, masuklah ke dalam rumah,” bisik Hermione. “Kau sudah tidak berpikir 
untuk 
pergi, kan?” 
“Kau harus tinggal, sobat,” kata Ron sambil menepuk punggung Harry.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Hermione yang sudah cukup dekat sehingga bisa 
melihat wajah Harry. “Kau kelihatan kacau!” “Mungkin,” kata Harry, “tapi aku 
masih lebih baik daripada Ollivander…” Setelah Harry selesai menceritakan apa 
yang ia lihat, Ron melihatnya terkejut ngeri dan 
Hermione benar-benar ketakutan. 
“Tapi seharusnya hal itu berhenti! Bekas lukamu – seharusnya ini tidak 
terjadi lagi! PDF by Kang Zusi
Tidak seharusnya kau membuka hubungan itu lagi – Dumbledore ingin kau 
menutup 
pikiranmu!” 
Saat Harry tidak menjawab, Hermione menarik tangan Harry. 
“Harry, dia sudah menguasai Kementrian, koran, dan separuh dunia sihir! Jangan 
biarkan dia mengambil alih pikiranmu juga!” 
================= 
*Hollu dan Holley memilih pegucapan yang sama.